Langsung ke konten utama

Perang Sesungguhnya

 


Setelah beberapa perselisihan dan pertikaian antara kaum Muslmin yang saat itu telah menemukan tempat yang kondusif untuk menyebarkan agama Islam di Madinah melawan kaum kafir yang dipimpin pembesar-pembesar Quraish di Mekkah, akhirnya terjadilah pertempuran besar pertama antara Nabi Muhammad saw melawan musuh-musuhnya itu pada tanggal 17 Ramadhan 2 H (13 Maret 624).

Pasukan kecil kaum Muslim yang berjumlah 313 orang bersenjatakan 8 pedang, 6 baju perang, 70 ekor unta dan 2 ekor kuda bertempur menghadapi pasukan dari Mekkah yang berjumlah 1.000 orang dengan 600 persenjataan lengkap, 700 unta dan 300 ekor kuda. Setelah bertempur habis-habisan sekitar dua jam, pasukan Muslim menghancurkan barisan pertahanan pasukan Quraisy, yang kemudian mundur dalam kekacauan.

Kemenangan tersebut harus dibayar dengan tewasnya empat belas syuhada dari pihak pasukan Muslim. Sedangkan dari kaum kafir Mekkah tujuh puluh orang tewas dan tujuh puluh orang tertawan. Meskipun memperoleh kemenangan gemilang dengan jumlah korban yang lebih sedikit, gugurnya beberapa sahabat tersebut tetap menimbulkan kesedihan bagi Nabi dan para sahabat lainnya.

Belum juga terhapus air mata kesedihan akibat ditinggalkan ayah, anak, atau kerabat dalam perang tersebut, para sahabat dikejutkan dengan pernyataan Rasulullah saw yang menegaskan bahwa mereka baru saja pulang dari pertempuran kecil menuju pertempuran yang lebih besar. Menjawab pertanyaan dan kebingungan para sahabat tentang perang besar setelah perang Badar tersebut, Rasulullah saw menjelaskan bahwa perang besar yang sesungguhnya tersebut adalah perang melawan hawa nafsu.

Belum lama kita meninggalkan bulan Ramadhan 1442 h. Sebagaimana setiap tahun telah kita jalani selama ini, bulan Ramadhan sebagai bulan yang suci dan mulia adalah bulan dimana setiap umat Islam wajib melaksanakan puasa wajib sebagaimana diperintahkan Allah swt di dalam Al Quran. Selama satu bulan inilah kita ‘berperang’ melawan hawa nafsu dalam diri sendiri agar tidak hanya lapar dan haus saja yang kita dapatkan, namun juga nilai-nilai lebih lainnya sehingga derajat taqwa benar-benar kita dapatkan.

Ramadhan berakhir, dan kini kita memasuki bulan Syawal. Dimana-mana kita bergembira, bersuka ria menyambut bulan kemenangan ini. Ya… mungkin mirip dengan kegembiraan umat Islam saat mengalahkan musuh di perang Badar dahulu, Namun dengan kebijaksanaan dan keagungannnya, Rasulullah saw segera mengingatkan para sahabat untuk tidak terlalu larut dalam euforia kemenangan dengan menyadarkan untuk segera bersiap berperang menghadapi hawa nafsu masing-masing.

Berkaca dari hal tersebut, sudah sepantasnyakah kita berbangga diri dan mengaku telah memenangkan perang hawa nafsu di bulan Ramadhan kemarin sehingga kita merayakannya sedemikian rupa setiap tahun dan segera melupakannya sambil berharap masih bertemu lagi Ramadhan tahun depan?

Ramadhan hanyalah satu dari keseluruhan bulan hijriyah dalam satu tahun penanggalan Islam. Sementara hawa nafsu dan godaan setan adalah hal lain yang setiap saat dan waktu menyertai diri kita. Jika demikian apakah dalam sebelas bulan lainnya kita tidak perlu bersiaga dan bersiap untuk berperang melawan hawa nafsu tersebut? Justru di luar Ramadhan inilah kita benar-benar diuji untuk mengalahkannya.

Sudah sewajarnya apabila selama bulan Ramadhan, masjid-masjid penuh dengan jamaah karena adanya syiar yang masif untuk melaksanakan solat tarawih. Kita dengan ringannya bersedekah, saling memberi kepada sesama karena pintu surga yang dibuka dan adanya janji akan dilipatgandakannya pahala. Tadarus al Quran dan ibadah-ibadah sunnahpun kita perbanyak karena nilainya yang melebihi jika dilaksanakan di bulan lainnya. Menahan lapar dan haus sudah pasti kita jalankan karena hukumnya yang wajib.

Apakah semua amalan dan ibadah tersebut cukup kita laksanakan ketika bulan Ramadhan saja dan menjadi hal yang biasa-biasa saja saat kita melupakannya di bulan lainnya?

Saat inilah perang yang lebih besar dan lebih berat sedang dan akan kita jalani. Mampukah kita memperbanyak puasa-puasa sunnah ketika hal tersebut bukanlah perintah yang hukumnya wajib dari Allah swt? Sanggupkah kita menahan selera dan nafsu memenuhi hasrat lidah dan perut di saat apapun berada di depan kita dan tidak ada larangan lagi untuk melakukannya?

Masihkah kita dengan ringannya melangkahkan kaki untuk menuju masjid, mengisi shaf-shaf solat berjamaah sementara solat tarawih dan kebiasaan bangun dini hari untuk bersahur sudah tidak dilaksanakan lagi? Belum lagi tantangan untuk selalu mengisi hari-hari dengan tilawah al quran, bersedekah, ibadah sunnah lainnya serta mengurangi atau menghindari perbuatan yang sia-sia ketika pintu neraka kembali dibuka dan setan-setan telah dilepaskan belenggunya.

Sering kita mendengar ungkapan, “Lagi berpuasa, tidak boleh berbohong…

Atau yang lain, “Puasa-puasa kog ngomongin orang?

Tersirat dari pernyataan dan pertanyaan di atas bahwa, berbohong, ghibah dan hal-hal tidak baik tersebut tidak boleh dilakukan saat sedang berpuasa (khususnya di bulan Ramadhan), di luar itu tidak jadi soal. Padahal berbohong jelas perbuatan dosa, ghibah apalagi fitnah adalah perbuatan keji yang sangat berat akibat yang akan kita tanggung di akhirat nanti. Baik kita lakukan di bulan Ramadhan maupun di bulan-bulan lainnya.

Dari itulah, maka Ramadhan yang suci dan mulia kemarin pada hakikatnya lebih sebagai bulan pembelajaran dan ujian untuk kita menjalani hidup dan kehidupan di sebelas bulan lainnya di luar Ramadhan dengan istiqomah sebagaimana firman Allah dalam Al Quran surat Huud ayat 112 yang artinya :

Maka istiqamahlah kamu (Muhammad) di jalan yang benar, sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan juga kepada orang yang bertaubat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas.  Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Rasulullah saw pun dalam hadtis yang diriyatkan Bukhari : Dari Aisyah r.a. berkata : Nabi pernah ditanya :”Manakah amal yang paling dicintai Allah? Beliau bersabda :”Yang dilakukan secara terus menerus meskipun sedikit”. Beliau bersabda lagi :”Dan lakukanlah amal-amal itu, sekadar kalian sanggup melakukannya.

Selamat memasuki bulan Syawal dan bulan-bulan setelahnya. Selamat menjalani perang yang lebih dahsyat di banding peperangan kita di bulan Ramadhan kemarin. Semoga kita masih dipertemukan dengan dengan Ramadhan tahun depan untuk kembali berlatih dan mengikuti ujian peperangan kembali.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tlatar, 18 Okt 2007

WA Grup II (Gossen ah...)

  Di dalam ilmu ekonomi dikenal berbagai macam hukum, salah satunya adalah Hukum Gossen . Sesuai namanya, hukum ini dikemukakan oleh seorang ahli ekonomi asal Jerman bernama Herman Heinrich Gossen. Hukum Gossen menerangkan bahwa : “jika pemuasan keperluan terhadap suatu jenis benda tertentu dilakukan terus menerus, kenikmatannya akan terus-menerus berkurang sampai akhirnya mencapai suatu kejenuhan” Sederhananya dapat kita ambil contoh dari keseharian kita sendiri. Saat kita makan martabak, mungkin satu potong masih terasa kurang, sehingga kita ambil potongan yang kedua untuk memenuhi keinginan agar bisa lebih menikmati. Jika masih kurang bolehlah kita lanjutkan ke potongan yang ketiga. Yang mesti diingat adalah, pada titik tertentu kenikmatan martabak tersebut akan mencapai puncaknya. Jika telah sampai pada titik tersebut namun kita memaksakan untuk memakan lagi, maka potongan martabak yang kesekian ini sudah tidak senikmat sebelumnya. Demikian juga potongan-potongan yang lai...

Anjungan Beras Mandiri

  SEPENGGAL KISAH Sudah menjadi kebiasaan, hampir setiap malam khalifah Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya. Suatu malam bersama Aslam, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Kampung itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Khalifah terperanjat. Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Umar dan Aslam bergegas mendekati kemah itu. Setelah dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di atas tungku api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang. “Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam. Mendengar salam Umar, ibu itu mendongakkan kepala seraya menjawab salam Umar. Tapi setelah itu, i...