Langsung ke konten utama

PRIORITAS

Sambil menunggu waktu maghrib tiba, sore itu Mamat duduk-duduk di pos ronda yang letaknya tidak jauh dari mushola di lingkungan RT tempat tinggalnya. Tiba-tiba tampak Ujang muncul dari sebuah gang dengan raut yang muram dan tidak bahagia.

“Assalamualaikum,” sapa Mamat.

“Waalaikum salam,” jawab Ujang.

Mamat, “Dari mana Jang?”

Ujang,”Dari tukang jahit.”

Ujang lalu ikut duduk menemani Mamat di pos ronda tersebut.

“Terus kenapa kamu cemberut begitu?” tanya Mamat.

Ujang, “Minggu lalu aku jahitin kain untuk baju seragam. Janjinya hari ini bisa diambil, ternyata tadi aku ke sana masih belum jadi.”

“Kog bisa begitu? Sudah kamu tanyain ke tukangnya, kenapa terlambat dijahit,” tanya Mamat lagi.

“Sudah, katanya dia masih sibuk mengerjakan jahitan yang lain. Padahal itu masih dijanjikan dan mau diambil seminggu lagi, tetapi justru malah diduluin dikerjakan. Jahitanku yang mestinya diambil duluan malah diabaikan. Kan, kesal jadinya, “ jelas Ujang.

“Oh begitu…,” timpal Mamat dengan nada bersimpati.

Kedua sahabat itu sejenak asyik membuka HP, sekadar melihat chat-chat di Whatsapp masing-masing sambil sesekali posting komen di sana.

“Eh, Jang.. aku jadi ingat materi khotbah Jumat minggu lalu di masjid, “seru Mamat tiba-tiba.

“Maksudmu?” tanya Ujang masih sambil menggeser layar HPnya naik turun.

Mamat, “Waktu itu, khotib menyampaikan sebuah hadits yang begini bunyinya,

Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau

akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu

seakan-akan engkau akan mati besok pagi.

 

“Terus?” tanya Ujang lagi, kali ini dengan sedikit perhatian.

Mamat, “Kata khotibnya, banyak dari kita-kita yang salah mengartikan dan memahami hadits tersebut. Seolah-olah melalui hadits tersebut Nabi (saw) memerintahkan kita semua supaya dalam bekerja mencari dunia hendaknya melakukannya sebaik dan sekeras mungkin supaya mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya sehingga mencukupi seluruh kebutuhan karena akan hidup selamanya. Sedangkan untuk keperluan akhirat sekadarnya saja, karena toh besok sudah akan mati.”

“Salahnya dimana? Bukankah memang seperti itu seharusnya?” tanya Ujang yang menjadi agak penasaran.

Mamat, “Menurut pak ustadz, jika kita tidak bisa meraih sesuatu dari dunia ini pada hari ini, maka berpikirlah, sesungguhnya kita masih akan hidup lama dan akan dapat meraihnya esok hari. Jadi berdasarkan penjelasan tersebut, pemaknaan yang benar adalah bahwa tanpa maksud mengabaikan, kita bekerja untuk mendapatkan hal-hal duniawi cukup seperlunya saja, karena masih ada hari esok dan masih banyak waktu untuk melakukannya.”

“Sedangkan terhadap apa yang terkait dengan akhirat, kita hendaknya bersungguh-sungguh, bekerja keras dan bersegera meraihnya, karena hidup kita sudah akan berakhir besok pagi sehingga tidak tersisa waktu yang banyak untuk beramal soleh dan berbuat kebajikan,” sambung Mamat.

“Lantas, apa hubungannya jahitanku yang belum jadi dengan hadits yang disampaikan Ustadz itu?” tanya Ujang yang belum mengerti.

Mamat, “Jahitanmu yang harus selesai lebih dulu itu ibarat kebutuhan akhirat yang harus lebih awal ditunaikan dibanding jahitan yang lain seperti halnya keperluan dunia karena masih ada waktu untuk mengerjakannya yaitu setelah jahitanmu selesai. Bukan sebaliknya.”

“Kalau begitu, apakah kita harus menghabiskan waktu kita sehari-semalam hanya untuk beribadah saja dan meninggalkan kesibukan keduniaan dan interaksi dengan lingkungan serta sesama?” serang Ujang.

Mamat, “Bukan begitu. Tetapi hendaklah, segala aktivitas dan kegiatan kita selalu diniatkan untuk mendekatkan diri dan ibadah kepada Allah swt. Sesuai dengan ayat dalam Al Qur,an “

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah diciptakan jin dan manusia

melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

 

dan juga dalam ayat yang lain :

إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku

dan matiku hanyalah untuk Allah,

Tuhan semesta alam.

“Kita bekerja untuk menjalankan perintah Allah, mencari rezeki untuk menafkahi keluarga. Kita bersosialisasi dan bermasyarakat untuk menyambung silaturahmi. Kita makan dan minum sebagai sarana mengumpulkan energi dan kesehatan untuk beribadah. Kita mengumpulkan harta untuk bekal beramal soleh dan membantu sesama, dan lain-lain.”

Ujang, “Begitu ya? Tetapi kalau tidak salah ada ungkapan bahwa kebutuhan akhirat dan keperluan dunia ini harus seimbang kita penuhi, harus sama dan adil. Bagaimana itu?”

Mamat, “Kalau itu memang tidak dibahas di khotbah kemarin. Namun mari kita renungkan saja sekarang, kita hidup di dunia berapa lama. Sebentar saja, kan? Sementara di akhirat nanti, tidak ada batasnya, selamanya. Seimbang atau adil tidak harus selalu sama durasi, dan alokasi waktu serta energi yang dikeluarkan. Namun sesuai kebutuhan masing-masing.”

“Bandingkan, uang saku kamu yang sekarang sudah menjadi mahasiswa dengan uang saku adikmu yang masih bersekolah di SMP. Apakah harus sama? Kalau tidak sama, apakah itu tidak adil?”

“Iya ya…Kamu kog jadi pinter ceramah, Mat?” sergah Ujang.

Mamat,”Ah kamu. Bukan berceramah… aku kan cuma menyampaikan apa yang aku  dengar saja dari pa ustadz.”

Suasana sejenak hening, dengan keduanya kembali membuka HP masing-masing. Tiba-tiba terdengar adzan dari mushola, pertanda waktu solat telah tiba.

“Nah itu sudah ada adzan, ayo solat dulu kita, “ajak Mamat.

“Yuk,” Ujang mengiyakan.

Keduanyapun bergegas meninggalkan pos ronda menuju mushola untuk menunaikan solat maghrib berjamaah.

 

 

Bbrp diambil dari : islam.nu.or.id


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendapat Akhir

  Tidak terpikirkan dalam benak Inyonk, bahwa ia akan berpindah tugas juga dari kota yang sudah ditempatinya sejak mulai bekerja pada akhir 90-an. Begitu tidak inginnya ia meninggalkan homebase yang sudah 25 tahun dijalaninya itu, segala kesempatan, peluang atau segala hal yang berpotensi untuk Inyonk harus menjauh dan berpisah dengan keluarga akan diabaikan dan dihindarinya. Sampai suatu saat, mau tidak mau ia mesti menjalankan perintah dan keputusan untuk bertugas di unit kerja di luar tempat tinggalnya, di ibukota. Dengan diliputi kegagapan, perasaan tidak pede dan berbagai ketidakyakinan akan kapasitas dan pengetahuannya, melangkahlah Inyonk menuju tempat kerjanya yang baru. Tidak sedikit rekan2 kerja yang memberikan ucapan selamat kepadanya karena akan bekerja dan bertugas di ‘kayangan’. Inyonk tidak tahu apa maksud dari kayangan tersebut, karena selama ini sangat enggan dan jarang sekali mengikuti info2 yang terkait dengan unit kerja yang akan dituju kali ini. Singkat c...

Mimpi kali ye..

Pagi itu seperti hari2 sebelumnya Inyonk berangkat ke tempatnya bekerja yang berada di pusat kota yang menurut maps digital berjarak + 12km dari tempat tinggalnya. 🛵Tujuan yang sama, rute yang sama, nyaris hanya sebuah rutinitas biasa saja. Tapi tidak seperti biasanya, hampir di sepanjang perjalanan itu, ia mengingat dan merangkai satu-persatu keseluruhan mimpi yang menghiasi tidur lelapnya tadi malam. 😴Dalam mimpinya itu, tiba2 Inyonk mesti berpindah tugas yang mengharuskan ia meninggalkan kota tempat tinggal dan tempatnya bekerja yang sekarang ini. Siap, terkejut dan tidak siap, semuanya campur aduk dirasakan Inyonk. Siap, karena memang sudah cukup lama sejak ia menyelesaikan pendidikannya dan mulai bekerja belum berpindah dari kota yang sama. 🏢Kaget, karena ia tidak menyangka akan bekerja di instansi yang merupakan induk dan pusat dari unit tempat ia bekerja selama ini sehingga tidak mempersiapkan diri untuk itu. Mulailah Inyonk menjalani hari2nya dengan bekerja menjalankan tug...

Labbaik Allahumma Labbaik